Berdoa dengan doa-doa yang bersumber
dari Nabi dan berdzikir dengan wirid yang disyariatkan tanpa ada pemahaman
terhadap maknanya dan tanpa mengejawantahkan kandungannya, tidak akan
mendatangkan pengaruh baik dan manfaat yangbanyak.
Doa itu (baca di Bagian I) memuat empat pilar yang agung. Tak ada cara bagi kita untuk menggapai kebahagiaan dan melenyapkan keresahan, kegalauan dan kesedihan kecuali dengan merealisasikannya.
Pilar pertama:
Merealisasikan ibadah hanya untuk Allah, merasa hina di hadapan-Nya, mengaku bahwa diri kita adalah makhluk ciptaan-Nya sekaligus hamba-Nya, baik diri kita maupun kakek dan nenek moyang kita, mulai dari bapak ibu kandung kita yang terdekat sampai berpangkal pada Adam dan Hawa. Semua adalah hamba dari Allah.
DIA lah yang menciptakan mereka, Rabb mereka, Penguasa mereka, yang menangani segala urusan mereka.
Di antara bentuk realisasi pengakuan-pengakuan diatas adalah konsistensi kita dalam beribadah kepada-Nya yang terwujud dalam rasa keterhinaan dan ketundukan kita kepada Allah, melaksanakan titah dan menjauhi larangan-Nya, selalu merasa butuh kepada-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, tawakkal kepada-Nya, meminta perlindungan kepada-Nya, dan agar hati tak bertaut pada selain-Nya, baik dalam hal kecintaan, rasa takut, maupun pengharapan.
Pilar kedua:
Hendaknya kita mengimani QADHA dan QADAR Allah. Juga meyakini apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, sedang yang tidak dikehendaki-Nya tak akan terjadi.
Demikian pula bahwa tidak ada yang sanggup mengintervensi hukum Allah (merubah ataupun membatalkannya), tak ada pula yang dapat menolak keputusan-Nya. [Lihat At-Fathir:2]
Karena itulah, dalam doa tersebut dinyatakan:
“Ubun-ubunku ada ditangan-Mu, ketentuan-Mu berlaku terhadapku, keputusan-Mu terhadapku adil semata.”
Ubun-ubun kita, yakni kepada bagian depan, ada di tangan Allah. Allah memperlakukannya sekehendak-Nya, juga memberi ketentuan terhadapnya sesuai dengan yang DIA kehendaki.
Tak ada yang bisa mencampuri ketentuan-Nya, tidak ada pula yang
bisa menolak keputusan-Nya, tidak ada pula yang bisa menolak keputusan-Nya.
Maka dari itu, kehidupan kita, kematian kita, kebahagiaan kita, kesengsaraan kita, kesehatan kita, cobaan yang kita terima, semua itu kembali pada Allah, tak ada sama sekali yang menjadi wewenang kita.
Bila kita percaya bahwa ubun-ubun kita dan juga ubun-ubun semua hamba lainnya ada di tangan Allah, DIA akan memperlakukan mereka sesuai dengan kehendak-Nya, maka setelah itu kita tidaklah takut kepada sesama hamba-Nya, tidak menaruh harap pada mereka, tidak memposisikan mereka sebagai pemilik diri kita, tidak menggantungkan asa dan harapan kita pada mereka.
Ketika itu, barulah Tauhid, Tawaqal dan penghambaan kita kepada Alllah benar-benar terwujud. [Lihat surat Hud:56]
Ungkapan dalam doa “ketentuan-Mu berlaku atas diriku” ini mencakup dua ketentuan:
> Ketentuan dalam agama dan
> Ketentuan taqdir berkenaan dengan alam semesta.
Dua ketentuan ini akan berlaku pada diri kita, terima ataupun tidak. Hanya saja ketentuan taqdir tidak mungkin untuk dilawan. Sedangkan
ketentuan agama terkadang kita langgar dan kita terancam mendapatkan hukuman siksa sesuai dengan pelanggaran yang kita lakukan.
Ungkapan “keputusan-Mu terhadapku adil semata”, ini mencakup semua keputusan Allah terhadap hamba-Nya dari segala sisi, baik sehat atau sakit, kaya atau miskin, rasa nikmat atau rasa nyeri, hidup atau mati, mendapat siksa atau mendapat ampunan, semua yang Allah putuskan terhadap hamba-Nya itu adalah adil semata.
Pilar ketiga :
Adalah hendaknya kita mempercayai nama-nama Allah yang indah (Asmaul Husna) dan sifat-sifat-Nya yang Agung yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Bertawassul kepada Allah dengan nama dan sifat- Nya.
Ini sebagaimana firman Allah:
"Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna." [Al-Araf:180]
Semakin kuat kita mengenal Allah, nama dan sifat-Nya, maka kita akan semakin takut kepada Allah, semakin besar merasakan pengawasan-Nya terhadap diri kita dan akan semakin jauh dari kemaksiatan dan hal-hal yang Allah murkai.
Karena itulah, hal terbesar yang dapat mengusir rasa resah, sedih dan gelisah adalah kala hamba
mengenal Rabbnya, memenuhi hatinya dengan pengetahuan tentang Allah dan bertawassul kepada-Nya dengan nama dan sifat-Nya.
Karena itulah dalam doa tersebut (baca di Bagian I) dinyatakan:
"Aku memohon kepada-Mu dengan segenap nama milik-Mu yang Engkau sandangkan pada diri-Mu, atau yang Engkau turunkan di kitab-Mu, atau Engkau ajarkan pada seseorang dari sekalian hamba-Mu, atau yang Engkau simpan sendiri di ilmu gaib yang ada pada sisi-Mu."
Ini adalah wasilah kepada Allah yang paling Allah cintai.
Pilar keempat:
Adalah memberikan perhatian pada Al-Quranul Karim, yang sama sekali tidak mengandung kebatilan sedikit pun, yang memuat petunjuk, kesembuhan, kecukupan dan keselamatan.
Semakin besar perhatian kita pada Al-Qur’an, baik dengan membaca, menghafal, mengkaji dan merenungkannya, mengamalkan, dan mengejawantahkannya, kita akan menggapai kebahagiaan, ketenangan, kelapangan dada, hilangnya resah, gelisah dan kesedihan sesuai dengan tingkat perhatian kita terhadap Kitabullah.
Inilah empat pilar yang agung yang dipetik dari doa yang penuh berkah ini.
Sebaiknya kita menghayatinya dan berupaya untuk mewujudkannya, agar kita bisa menggapai JANJI MULIA dan KEUTAMAAN AGUNG ini berupa sirnanya keresahan yang berganti dengan kebahagiaan dan jalan keluar. Insya'Allah.....!
Semoga Shalawat beserta salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Saw., keluarganya, Shahabat, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.